Tuesday, March 19, 2013

PERMAINAN LAYANG-LAYANG


Layang-layanglayangan, atau wau (di sebagian wilayah Semenanjung Malaya) merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali. Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai alat permainan, layang-layang diketahui juga memiliki fungsi ritual, alat bantumemancing atau menjerat, menjadi alat bantu penelitian ilmiah, serta media energi alternatif.
Jenis layang-layang laga/adu

Terdapat berbagai tipe layang-layang permainan. Yang paling umum adalah layang-layang hias (dalam bahasa Betawi disebut koang) dan layang-layang aduan (laga). Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat mengeluarkan suara karena hembusanangin. Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena biasanya kuatnya angin berhembus pada masa itu.

Jenis layang-layang hias sederhana
Di beberapa daerah Nusantara layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu dan diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai diSulawesi. Diduga pula, beberapa bentuk layang-layang tradisional Bali berkembang dari layang-layang daun karena bentuk ovalnya yang menyerupai daun.
Di Jawa BaratLampung, dan beberapa tempat di Indonesia ditemukan layang-layang yang dipakai sebagai alat bantu memancing. Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu, dan dihubungkan dengan mata kail. Di Pangandaran dan beberapa tempat lain, layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar.
Jenis Layang-layang hias bunyi / Koang
Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke-18. Contoh yang paling terkenal adalah ketika Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik.

Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah dicoba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut. Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa seperti layang-layang yang akan "menarik" kapal sehingga menghemat penggunaan bahan bakar.
Jenis layang-layang hias rumit
Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari Cina sekitar 2500 yang lalu. Penemuan sebuah lukisan gua di Pulau MunaSulawesi Tenggara, pada awal abad ke-21 yang memberikan kesan orang bermain layang-layang menimbulkan spekulasi mengenai tradisi yang berumur lebih dari itu di kawasan Nusantara. Dugaan layangan di pulau Muna telah berkembembang sejak 4.000 sampai 10.000 tahun yang lalu. Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas antara tradisi di Cina dan di Nusantara karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Dari Cina, permainan layang-layang menyebar ke Barat hingga kemudian populer di Eropa.
Layang-layang terkenal ketika dipakai oleh Benjamin Franklin ketika ia tengah mempelajari petir.

Jenis layang-layang hias bertumpuk

Layang-layang kini semakin berkembang luas dan bentuknya pun bermacam-macam. Jenis perlombaan layang-layang pun juga bermacam-macam. Ada perlombaan layangan adu dengan menggunakan benang yang tajam atau di sebut dengan benanggelasan dan ada pula perlombaan layangan hias dengan mengunggulkan penilaian dari rupa layangan tersebut. jenis layangan hias ini pun beragam. ada layangan hias sederhana, ada layangan hias yang bertumpuk dan ada pula layangan hias yang rumit.

Layang-layang tradisional Muna

sumber : wikipedia, digitoys dan berbagai sumber

GASING DI INDONESIA




Gangsing di Yogyakarta.
Gasing merupakan salah satu permainan tradisional Nusantara, walaupun sejarah penyebarannya belum diketahui secara pasti.
Di wilayah Pulau Tujuh (Natuna), Kepulauan Riau, permainan gasing telah ada jauh sebelum penjajahan Belanda. Sedangkan di Sulawesi Utara, gasing mulai dikenal sejak 1930-an. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa. Biasanya, dilakukan di pekarangan rumah yang kondisi tanahnya keras dan datar. Permainan gasing dapat dilakukan secara perorangan ataupun beregu dengan jumlah pemain yang bervariasi, menurut kebiasaan di daerah masing-masing.
Hingga kini, gasing masih sangat populer dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan warga di kepulauan Rian rutin menyelenggarakan kompetisi. Sementara di Demak, biasanya gasing dimainkan saat pergantian musim hujan ke musim kemarau. Masyarakat Bengkulu ramai-ramai memainkan gasing saat perayaan Tahun Baru Islam, 1 Muharram.

Beragam nama gasing

Sejumlah daerah memiliki istilah berbeda untuk menyebut gasing. Masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta menyebutnya gangsing atau panggal. Masyarakat Lampung menamainya pukang, warga Kalimantan Timur menyebutnya begasing, sedangkan di Maluku disebut Apiong dan di Nusatenggara Barat dinamai Maggasing. Hanya masyarakat Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Tanjungpinang dan Kepulauan Riau yang menyebut gasing. Nama maggasing atau aggasing juga dikenal masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sedangkan masyarakat Bolaang Mongondow di daerah Sulawesi Utara mengenal gasing dengan nama Paki. Orang Jawa Timurmenyebut gasing sebagai kekehan. Sedangkan di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nama berbeda. Jika terbuat dari bambu disebut gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon.

Bentuk gasing

Gasing memiliki beragam bentuk, tergantung daerahnya. Ada yang bulat lonjong, ada yang berbentuk seperti jantung, kerucut, silinder, juga ada yang berbentuk seperti piring terbang. Gasing terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki (paksi). Namun, bentuk, ukuran dan bagian gasing berbeda-beda menurut daerah masing-masing.
Gasing bambu
Gasing di Ambon (apiong) memiliki kepala dan leher. Namun umumnya, gasing di Jakarta dan Jawa Barat hanya memiliki bagian kepala dan paksi yang tampak jelas, terbuat dari paku atau logam. Sementara paksi gasing natuna, tidak nampak.

Jenis gasing

Gasing dapat dibedakan menjadi gasing adu bunyi, adu putar dan adu pukul

Permainan gasing

Cara memainkan gasing, tidaklah sulit. Yang penting, pemain gasing tidak boleh ragu-ragu saat melempar gasing ke tanah.
Cara:
  1. Gasing di pegang di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang tali.
  2. Lilitkan tali pada gasing, mulai dari bagian paksi sampai bagian badan gasing. lilit kuat sambil berputar.

   Berkas:Aneka-gasing.jpg

Untuk memanjakan buah hati anda di toko mainan iDigitoys dan Salsabila toys menyediakan gasing tradisional jenis tertentu dengan harga yang sangat terjangkau. Segera hadiahkan buah hati anda dengan permainan tradisional yang menyenangkan ini.


sumber : wikipedia

BEYBLADE DAN GASING


Beyblade
Beyblade adalah judul sebuah serial anime dan manga buatan Takao Aoki dan Takafumi Adachi yang bercerita tentang sekelompok anak-anak yang bertarung dengan menggunakan gasing-gasing canggih dan memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Tokoh utama serial ini adalah seorang anak kelas VIII bernama Tyson Granger (Kinomiya Takao dalam bahasa Jepang dan Indonesia), dan temannya, Kai HiwatariRay Kon dan Max Tate. Takao dan kelompoknya banyak bertemu dengan teman-teman, musuh ataupun saingan baru dalam perjalanan. Menariknya, alur cerita Beyblade ini mirip dengan alur cerita di Idaten Jump, seperti mendung saat episode akhir dan adanya latar gedung tinggi tempat musuh-musuhnya. Bahkan menggunakan lagu penutupan yang berbeda daripada episode sebelumnya.
Beyblade pertama kali muncul tahun 1999 dalam bentuk manga dan mainan yang hanya beredar di Jepang. Setelah versi manganya meraih sukses, Beyblade versi anime kemudian diluncurkan; tak hanya di Jepang, melainkan juga di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, China, Eropa, dan Indonesia. Di Jepang, anime Beyblade berhenti tayang sejak tahun 2004, namun pada bulan Juli 2006, anime ini kembali ditayangkan oleh Indosiar dan juga berhenti pada tahun 2007. Namun, versi VCD Beyblade V-Force masih dijual di pasaran seperti misalnya Giant Hypermarket tentunya dengan harga yang sangat terjangkau, Pernak-pernik lain seperti mainan juga kini mulai muncul di pasaran.
Kini di Indonesia seiring dengan ditayangkannya anime beyblade metal Master maka kini kembali beyblade menjadi permainan yang digemari anak-anak. permainan ini lebih digemari anak-anak dibanding gasing karena lebih praktis dimainkan dan lebih mudah dibandingkan gasing. Anak-anak tidak perlu repot menggulung tali untuk mempermainkannya. hanya cukup dipasangkan ke peluncurnya saja dan beyblade siap dimainkan. permainan ini juga membutuhkan arena atau lapangannya. arena beyblade berbentuk cekungan lingkaran tempat beyblade diadu. Adu beyblade ini bisa membuat beyblade lawazn terpental dari arena atau bahkan membuat beyblade hancur walaupun bodinya terbuat dari besi. Dengan kemudahan mempermainkannya dan asiknya mengadu dalam mempermainkan beyblade ini membuat anak-anak senang bermain beyblade.

                                       


Gasing / Gangsing 
Gasing / Gangsing adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib.
Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.

Gerakan gasing berdasarkan efek giroskopik. Gasing biasanya berputar terhuyung-huyung untuk beberapa saat hingga interaksi bagian kaki (paksi) dengan permukaan tanah membuatnya tegak. Setelah gasing berputar tegak untuk sementara waktu, momentum sudut dan efek giroskopik berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya bagian badan terjatuh secara kasar ke permukaan tanah.

Kami menyediakan Beyblade dan gasing tradisional untuk permainan anak-anak dengan harga terjangkau. Kunjungi toko kami  di Digitoys dan Salsabila toys untuk menghadiahkan beyblade dan gasing untuk buah hati anda.

sumber : wikipedia

KAGATI, LAYANG-LAYANG DARI MUNA


Siapa yang menyangka bahwa layang-layang pertama kali di buat dan di terbang kan oleh seorang manusia Indonesia dan bukan di temukan pertama kali di daratan China seperti yang di sangka orang selama ini. Meski di perlukan penelitian lebih lanjut, keberadaan gua Sugi Patani di pulau Muna, provinsi Sulawesi Tenggara sedikit membuktikan akan hal itu.
Lukisan kolosal pra sejarah berumur 4000 tahun di dinding gua yang terletak di desa Liang Kobori ini menggambarkan seseorang yang sedang menerbangkan obyek berbentuk layang-layang yang di ikat pada seutas tali penghubung. Bila lukisan yang di temukan di gua yang lokasi nya terletak di atas perbukitan kapur ini berumur 4000 tahun, maka ini berarti seseorang yang berada di pulau Muna sudah mengenal cara pembuatan layang-layang dan mengerti cara menerbangkan nya di angkasa, jauh lebih awal di bandingkan seseorang yang menerbangkan nya di cina pada sekitaran 1200 tahun yang lalu.
Hal lain yang bisa di tunjukan dari keberadaan penemuan gambar, yang di lukis dengan materi campuran getah pepohonan dan tanah liat berwarna coklat ini, adalah bahwa pada 4000 tahun yang lalu bercocok tanam telah di kenal oleh masyarakat setempat sebagai salah satu sumber pangan bagi mereka. Layang-layang di gunakan sebagai instrumen pengusir burung atau hama lain nya di persawahan atau kebun-kebun mereka.
Sampai saat ini pun masyarakat di Muna masih sangat akrab dengan ‘kagati’, istilah layang-layang bagi masyarakat setempat. Namun, bahan yang di gunakan untuk pembuatan ‘kagati’ berebeda dengan bahan yang di gunakan pada layang-layang pada umum nya. Masyarakat Muna memilih bahan-bahan yang berasal dari alam untuk di pergunakan sebagai bahan dasar layang-layang. Adalah lembaran-lembaran ‘kolope’ yang di gunakan sebagai badan layang-layang.
Dedaunan kering berukuran lebar ini ‘di tenun’ dengan menggunakan kayu-kayu kering satu sama lain. Tenunan daun ‘kolope’ ini di buat di atas rangka kayu bermaterikan bambu bulu. Sebagai bahan tali penghubung yang akan membawa layang-layang ini terbang ke angkasa, masyarakat setempat memilih pilinan serat buah nanas yang biasa di dapatkan di hutan.
‘Kasopa’, ‘wantafotu’, ‘bhalampotu’, dan ‘bhangkura’ adalah istilah-istilah dalam bahasa daerah setempat yang di berikan oleh masyarakat untuk beberapa jenis-jenis layang-layang (kagati) berdasarkan pembedaan proporsi ukuran rangka nya. ‘Bhangkura’ misalnya, bambu horizontal penyusun rangka nya ( yang sering di istilahkan sebagai ‘kainere’) di ikat pada 1/5 bagian bambu vertikal penyusun rangka nya (sering di istilahkan sebagai ‘pani’).
Panjang ruas ‘kainere’ dan ‘pani’ pun sama (seimbang) untuk jenis layang-layang ‘bhangkura’. Sementara ‘kasopa’ yang memiliki ruas bambu vertikal lebih pendek dari ruas bambu horizontal nya, ikatan ‘pani’ nya berada di 3/7 bagian ‘kainere’ nya. Demikian juga untuk jenis-jenis layang-layang lain nya, rasio ikatan bersama ruas vertikal dan horizontal pembentuk rangka nya berbeda satu dengan yang lain nya. Perbedaan proporsi pada bentuk rangka ini di percaya membawa pengaruh pada kecepatan terbang dari layang-layang tersebut.
Di kalangan masyarakat Muna, layang-layang seolah menyatu dengan kehidupan mereka. Di saat-saat setelah panen – sebagai gambaran kegembiraan dan rasa syukur – masyarakat Muna menerbangkan layang-layang mereka satu minggu penuh tanpa menurunkan nya sehari pun. Layang-layang pun kerap di gunakan sebagai media ‘buang sial’ atau ‘tolak bala’ dengan cara mengikat tali layang-layang dengan sesajen berupa makanan tertentu, biasa nya ketupat, lalu memutus nya sebagai penggambaran memutuskan ‘kesialan’ dari kehidupan mereka.
Selain gua Sugi Patani atau yang di kenal oleh masyarakat setempat juga sebagai ‘gua layang-layang’, masih ada juga obyek wisata yang tak kalah menarik nya yang letak nya tak terlalu jauh dari desa Liang Bokor, yaitu danau berair asin, Napabale dengan legenda ‘Sangke Palangga’ nya. Atau juga danau Motonunu, beda nya danau yang juga berada kurang lebih 15 km dari kota Raha ini berair tawar. Kedua nya bisa di nikmati di Pulau Muna sebuah pulau dengan kota Raha sebagai ibukota kabupaten nya.
Kota Raha sendiri berjarak 3 jam perjalanan dari ibukota provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Melintasi teluk Kendari dan selat Buton dengan menggunakan kapal cepat bermaterikan fiberglass, pemandangan di lintasan nya juga menarik untuk di nikmati. Laju kapal pun melintas melewati pulau-pulau kecil yang tertutup hijau nya pepohonan dengan sesekali melewati rumah-rumah panggung yang berdiri berkelompok membentuk populasi pemukiman penduduk, membuat perjalanan ke menuju pelabuhan Raha menjadi teramat singkat.
Beberapa mercu suar yang berdiri di atas bentangan pasir putih menjadi penanda bahwa perairan di dekat nya teramat dangkal untuk di lewati, walau demikian deretan pepohonan kelapa yang berdiri di belakang nya tetap menyuguhkan pemandangan yang menarik untuk di nikmati dari geladak kapal.
Mendekati pelabuhan Raha, gugusan karang yang berdiri gagah namum indah akan menyambut setiap kapal yang datang. Jl. Bypass Raha, tempat di mana pelabuhan ini berada juga memiliki panorama laut yang mempesona. Anak-anak kecil yang berenang di pinggiran pantai dan kapal-kapal kayu milik nelayan yang bergerak kea rah lautan lepas akan melengkapi pengalaman ekowisata siapa pun yang mengunjungi pulau nan indah ini.



SUMBER : http://jalan2.com

Saturday, March 2, 2013

Jejak Purba Layang-layang Muna



sulawesichannel.blogspot.com
Ilustrasi

Sebuah coretan di Goa Sugi Patani menggambarkan orang tengah bermain layang-layang di dekat pohon kelapa. Temuan ini menggoyang fakta bahwa layang-layang ditemukan pertama kali oleh bangsa China pada 2.400 tahun lalu.
Sugi Patani adalah satu dari belasan goa yang ada di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia di Pulau Muna. Provinsi Sulawesi Tenggara. Goa itu terletak di atas bukit batu dengan ketinggian sekitar 30 meter dari jalan setapak. Untuk menuju goa ini harus menempuh jalan terjal dengan tingkat kemiringan 80 derajat.
Gambar di goa yang dilukis menggunakan oker (campuran tanah liat dengan getah pohon tertentu) ini mengundang perhatian penggemar layang-layang dari Jerman bernama Wolfgang Bieck. Ia mengunjungi Muna dan mengambil foto-foto kemudian menuliskan hasil kunjungannya dalam artikel berjudul ”The First Kiteman” di sebuah majalah Jerman tahun 2003. Bieck meyakini, layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Kesaksian Bieck memang masih perlu diteliti lagi untuk membuktikan kebenarannya. Beberapa ahli arkeologi di Indonesia belum bisa memastikan apakah usia lukisan di goa itu jauh lebih tua dari temuan layang-layang di China yang berusia 2.400 tahun.
Arkeolog prasejarah, Prof Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, hingga kini ia belum meneliti temuan lukisan di Goa Sugi Patani sehingga belum bisa memastikan usia lukisan layang-layang tersebut.
Meski begitu, menurut Harry, hasil penelitian lukisan-lukisan dinding di goa-goa prasejarah lain yang tersebar di Sulawesi, termasuk Sultra, usianya diperkirakan 4.000-10.000 tahun lalu. Bila Goa Sugi Patani dihuni pada masa yang sama, artinya layang-layang di Muna usianya setidaknya 1.600 tahun lebih tua dari layang-layang bangsa China.
Kosasih, arkeolog yang meneliti lukisan goa di Sulawesi Selatan, punya pendapat lain. Dalam buku Layang-layang Indonesia yang ditulis oleh Endang W Puspoyo, Kosasih mengatakan bahwa lukisan goa di Muna bersifat kolosal dan berwarna coklat. Hal ini sangat berbeda dengan lukisan goa di Sulsel.
”Jadi saya sendiri melihat ada kesenjangan antara (lukisan) yang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Yang di Sulawesi Selatan lebih tua usianya, dibuat sekitar 4.000 tahun lalu,” kata Kosasih seperti dikutip buku itu.
Ahli arkeologi ini menduga, orang-orang yang melukis di goa-goa Liang Kabori itu adalah pendatang dari luar Pulau Muna. Hal ini terlihat dari lukisan kuda yang ditunggangi orang di dinding-dinding goa. Padahal, kuda bukan hewan asli Muna. Menurut Kosasih, kuda di Muna didatangkan dari China.
Berbahan daun
Terlepas dari semua teka teki itu, tradisi bermain layang-layang (yang dalam bahasa setempat disebut kagati) masih berlangsung sampai kini di Muna. Keunikan layang-layang dari Muna ini juga memikat penggemar layangan dari seluruh dunia. Berbeda dengan layang-layang daerah lain yang terbuat dari kertas dan kain, layang-layang Muna terbuat dari daun.
Lihat saja bagaimana La Sima (42), warga Desa Waraa, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, mengambil lembar demi lembar daun kolope yang telah kering kemudian memotong ujung- ujungnya dengan pisaunya yang tajam. Satu per satu daun tadi ia ”jahit” dengan lidi pada kerangka layangan yang terbuat dari kulit waru. Setelah itu, La Sima menjalin serat nanas hutan untuk dibuat tali layangan.
Layang-layang setinggi 1,9 meter dengan lebar 1 meter itu siap diterbangkan La Sima pada bulan Juni-September ini. Pada periode waktu itulah angin timur bertiup kencang sehingga mampu menerbangkan layang- layang selama tujuh hari tanpa pernah diturunkan. Bila selama tujuh hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh, si pemilik layang-layang akan menggelar acara syukuran. Kini hanya segelintir orang yang bisa membuat layang-layang daun seperti La Sima.
Lukisan goa-goa di Liang Kabori menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal budaya bercocok tanam. La Hada, penjaga goa-goa prasejarah di Liang Kabori, menuturkan, menurut cerita nenek moyang yang disampaikan turun temurun mengatakan, layang-layang adalah permainan para petani pada masa itu. ”Mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang,” kata La Hada.
Oleh nenek moyang orang Muna, layang-layang digunakan sebagai alat untuk mengusir hewan perusak ladang dan kebun mereka. Pada layang-layang tadi dikaitkan sebuah alat dari kayu yang bisa berbunyi nyaring bila tertiup angin. ”Suara nyaring itu untuk menakut-nakuti hewan,” kata La Sima.
Tradisi daerah lain
Indonesia sebagai negara agraris memiliki sejarah layang-layang yang panjang. Selain berfungsi sebagai alat untuk membantu budidaya pertanian, layang-layang juga dipakai sebagai alat bantu memancing seperti ditemukan di Jawa Barat dan Lampung. Di daerah Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, layang- layang dipasangi jerat untuk menangkap kelelawar.
Selain fungsi tadi, masyarakat yang masih memegang teguh tradisi percaya bahwa layang-layang memiliki makna magis religius. Masyarakat Muna, misalnya, percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai ”payung” yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan matahari bila ia meninggal dunia. Ketika si pemilik ini meninggal, ia ”berpulang” dengan berpegangan tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang.
Di Bali, masyarakat mengenal layang-layang untuk melindungi singgasana para dewa. Sementara di Sumatera Barat, masyarakat masih percaya bahwa adanya layang-layang bertuah yang bisa memikat gadis.
Apa pun yang dipercayai masyarakat, layang-layang merupakan simbol kearifan lokal. Penggunaan layang-layang untuk mengusir hama dan untuk memancing, misalnya, menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan teknologi ramah lingkungan yang tidak merusak alam sekitar. Ketika teknologi merambah kehidupan sampai ke desa-desa, kearifan itu mulai dilupakan. (Mohamad Final Daeng)

MENYUSURI JEJAK PURBA LAYANG-LAYANG DI GOA KABORI



Goa Kabori merupakan salah satu dari sembilan goa yang terletak di desa Liang Kabori, kecamatan Lohia, kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.  Di dalam goa kabori tersebut ditemukan banyak lukisan pada masa prasejarah dimana gambar dalam goa tersebut dilukis menggunakan campuran getah pohon dan tanah liat yang disebut dengan oker.  Menurut beberapa  penggemar layang-layang dunia mengatakan situs kabori menunjukan awal sejarah layang-layang dunia atau dengan kata lain layang-layang pertama di dunia berasal dari kabupaten Muna. Akan tetapi menurut beberapa arkeolog Indonesia kebenarannya belum bisa dipastikan, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan catatan sejarah disebutkan bahwa temuan layang-layang di China berusia 2400 tahun.  Sedang informasi yang didapat dari penelitian-penelitian beberapa arkeolog Indonesia terkait dengan lukisan-lukisan di dinding goa yang terdapat di Sulawesi, termasuk Sulawesi tenggara usia goa-goa yang ada diperkirakan kurang-lebih 4000-10000 tahun yang lalu.  Apabila goa tersebut dihuni pawa waktu yang sama, dengan demikan berarti bahwa usia layang-layang dari Muna 1600 tahun lebih tua dari layang-layang yang terdapat dari China.  Akan tetapi hal yang mengejutkan terlontar dari ahli arkeolog yang menduga bahwa justru yang melukis gambar-gambar di dinding goa tersebut bukanlah orang asli Muna melainkan dari dari luar pulau Muna.  Pernyataan itu didukung dengan bukti temuan gambar kuda pada lukisan dinding goa tersebut yang mana kuda bukanlah hewan asli Muna melainkan dari china.  Dari lukisan yang ada pada dinding goa juga menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengenal budaya bercocok tanam.  Dimana nenek moyang mereka ketika itu bermain layang-layang sembari menjaga kebun.   Karena layang-layang ketika itu selain untuk bermain juga dipergunakan untuk mengusir hewan yang merusak tanaman di ladang dan kebun mereka. 
Terlepas dari hal itu, terdapat keunikan mengenai kagati(sebutan layang-layang bagi masyarakat setempat) yang berasal dari kabupaten Muna.  Kagati Muna terbuat dari daun kalope yang sudah kering yang kemudian disatukan dengan lidi dimana kerangkanya bersal dari kulit waru.  Karena bentuknya yang besar mencapai tinggi 1,9 meter dan lebar 1,5 meter untuk menerbangkannya harus menggunakan angin yang ekstra kencang.  Angin yang biasa digunakan adalah angin timur yang bertiup pada bulan Juni hingga september.  Kencangnya tiupan angin mampu membuat layang-layang bertahan di angkasa selama 7 hari.  Jika layang-layang mampu bertahan hingga tujuh hari maka layang-layang akan diturunkan dan si pemilik layang-layang akan menggelar syukuran.
Untuk berkunjung ke Liang Kabori dan melihat goa yang berada pada ketinggian 30 meter ini terdapat jalan setapak dan jalan yang dilewati begitu terjal dengan tingkat kemiringan hingga 80 derajat. 

 

KAMPUNG MAINAN Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template